Ruang Untukmu -
Bad 977
Bad 977
Bab 977
Diliputi perasaan bersalah yang begitu dalam, Anita hanya bisa menunduk dan mengangguk pelan.
Di sisi lain, Ani tercengang dan terdiam beberapa saat. Orang terakhir yang dia duga sebagai perempuan yang disukai Raditya ternyata adalah sepupunya sendiri! Sungguh tidak disangka–sangka sampai membuatnya tidak bisa berkata–kata.
Tiba–tiba, mereka merasakan ketegangan bersamaan dengan turunnya hawa dingin.
Dengan kepala menunduk sepanjang waktu untuk menghindar dari menatap Ani, Anita berasumsi Ani sangat marah padanya. “Ani, jika kamu tidak bisa menerima ini… saya akan memutus hubungan dengannya,” lanjutnya sambil mengangkat wajahnya dan menarik napas dalam–dalam.
Namun, yang terpampang di wajah Ani justru sebuah senyuman dan dia mengulurkan tangan untuk memeluk sepupunya. “Anita, jangan merasa bersalah kepada saya; saya sangat senang Raditya menjadi sepupu ipar saya.”
Terdiam mendengar ucapannya, Anita hanya bisa memegang bahu Ani lalu menatap lurus ke kedua matanya. “Ani, kamu bilang apa barusan?”
“Apakah kamu tahu, Anita? Sebenarnya saya suka Raditya karena penampilan fisiknya! Saya selalu terpesona pada laki–laki tampan, asal kamu tahu. Tentu saja, dia memang menarik, tetapi saya tidak tahu kenapa saya selalu merasa tertekan setiap kali bersamanya; bisa dibilang, sampai sesak rasanya. Sejujurnya, saya tidak berani menyukainya; malah, saya takut padanya,” jelas Ani sambil menghela napas.
“Benarkah?” Anita terkejut.
“Benar! Setelah merenungkannya, saya menyadari dia memang tidak ditakdirkan untuk saya, tetapi untukmu! Sekarang, terimalah dia! Tidak seharusnya kamu malu hanya karena saya pernah bertunangan dengannya. Kakek akan senang mendapatkan Keluarga Laksmana sebagai menantunya!” seru Ani dengan mata berbinar-
binar.
Meskipun kata–katanya membuat Anita bingung, di sisi lain telah melegakannya. “Ani, terima kasih atas pengertianmu. Saya benar–benar minta maaf,” ucap Anita sambil memeluk Ani lagi.
“Anita, jangan takut dan ikuti kata hatimu! Saya sangat bersyukur karena mendapatkan sepupu ipar yang luar biasa!” Ani malu ketika mengusap–usap punggung Anita dan mendapatinya tengah menangis.
Mata Anita berlinang dan bibirnya mengerucut, lalu dia menyeka sudut matanya. Mereka berdua lalu saling melempar senyum.
“Apakah kamu khawatir apa yang akan orang tua saya katakan nanti? Tenang saja, serahkan pada saya. Biar saya yang menghadapi mereka.”
“Apa rencanamu?” tanya Anita penasaran.
“Tidak ada yang lebih mereka pedulikan selain kebahagiaan saya. Apakah menurutmu mereka akan senang jika besok saya membawa kekasih baru dan mengatakan bahwa dia adalah laki–laki incaran saya?”
Kali ini, Anita hanya bisa menangis menyadari betapa Ani berusaha membantunya.
Keduanya terus berbincang selama perjalanan kembali ke mobil dan Anita mengantar Ani. Tentu, Ani tidak marah sedikit pun pada sepupunya karena dia secara tulus berharap Raditya dan Anita dapat
terus bersama.
Sebenarnya, Ani sempat sedikit putus asa setelah pertunangannya itu karena merasa lebih rendah daripada perempuan lain dalam beberapa hal. Akan tetapi, sekarang dia tahu kalau perempuan yang dia cemburui adalah Anita sehingga tak lain sikapnya adalah yakin dan tegas.
Selain itu, Raditya tidak cocok dengannya karena sikapnya yang dingin dan kasar; dia lebih menyukai laki- laki dengan kepribadian yang lebih hangat.
Sesampainya di depan pintu rumah, Ani langsung mengeluarkan ponselnya, dan berpura–pura sedang
menelepon seseorang.
“Hei! Saya sudah di rumah. Hati–hati mengemudi mobilnya! Terima kasih atas makan malamnya,” ucapnya dengan manis.
Ini jelas menarik perhatian Henida, yang sedang menonton TV di ruang tengah. Dengan siapa Ani berbicara di telepon?
“Saya juga senang bertemu denganmu! Hmm, saya mencintaimu.” Ani mengucapkan kata–kata itu dengan lembut seakan takut didengar orang.
Sesuai rencana, Henida dapat mendengar suaranya dengan jelas dari ruang besar yang sepi. Begitu memasuki ruang tamu, dia sengaja terkejut dan menutup ponselnya karena kaget. “Ibu, kenapa Ibu belum kembali ke kamar?”
Henida terpaksa bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara di telepon?”
“Te… Hanya teman!” Ani menyematkan senyum malu–malu.
“Teman apa? Laki–laki atau perempuan?” desak Henida.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report