Ruang Untukmu
Bad 969

Bad 969

Bab 969

Meskipun begitu, Raditya tidak menyadari karena jauhnya jarak ditambah terhalang pepohonan.

Dia menyalakan mesin mobilnya dan melaju menuju rumah Anita. Anita terus menatapnya selama perjalanan pulang. Dia sadar bahwa dirinya bukanlah satu–satunya yang terganggu oleh banyaknya pikiran dalam benaknya; bahkan mata Raditya mengesankan perenungan mendalam.

Apa sudah terjadi sesuatu?

“Apa terjadi sesuatu padamu baru–baru ini?” tanya Anita penuhi perhatian.

“Tidak.” Dia menggeleng.

Rasa tidak berdaya tiba–tiba datang melanda Anita, karena Raditya mungkin akan tetap memendam sendiri jika ada masalah; belum lagi dia sedang berusaha menjaga jarak dengannya saat ini. Hal yang wajar jika Raditya berlaku seperti itu.

Begitu tiba di halaman luar rumahnya, Anita masih tetap duduk di bangkunya karena tiba–tiba dia ingin menemaninya lebih lama lagi.

“Belum terlalu malam. Mari kita bicara,” saran Anita karena tidak sedang terburu–buru.

Mata Raditya terpaku padanya dengan sorot hangat. Terbalut jaket biru, Anita tampak memukau dan bergaya malam ini. Wajah cantiknya yang bersinar dengan riasan tipis membuat hati Raditya berdebar–debar.

Di saat yang sama, jantung Anita berdebar kencang saat Raditya tak lepas menatapnya; wajahnya merona merah. Tatapan yang tajam itu membuat ilusi seakan dia bisa menerkamnya saat itu juga.

“Lupakan. Saya pulang saja.”

Saya rasa kita tidak akan bisa membicarakan hal ini.

Sebelum Anita turun dari mobil, laki–laki itu memerintah dengan suara kasar, “Mendekatlah.”

Anita mengangkat wajahnya dan melihat matanya yang memikat yang terlihat di bawah sinar lampu jalan. Sekilas dia bisa mengerti perasaan yang dipendamnya; dia sedang mengomunikasikan perasaannya kepadanya tanpa kata–kata.

Rona merah terpancar di pipinya dalam sekejap. Apakah dia ingin melakukan sesuatu tepat di depan rumah

saya?

“Tidak.” Anita menggeleng malu.

Tiba–tiba Raditya mengulurkan lengannya, membuat Anita segera membuka pintu dan keluar dari mobil dengan tergesa–gesa. Berkat pegangan tangan, dia terbebas dari kendalinya. Sebelum menutup pintu, dia melontarkan senyum puas kepadanya. “Sekali saya bilang tidak berarti tidak.”

Setelah berkata, dia menutup pintu lalu maju dua langkah dan berbalik untuk menatapnya sambil tersenyum. Pinggangnya yang ramping dan kakinya yang jenjang memancarkan keseksian saat melangkah, membuat

laki–laki itu menelan Iudahnya

Suatu hari nanti, saya akan membuatnya membayar sepuluh kali lipat atas apa yang dia lakukan malam ini.

Anita tidak belajar dari pengalaman tentang betapa menakutkan konsekuensi yang akan menimpanya karena

telah membuatnya geram.

Meskipun begitu, baginya ini adalah malam yang damai saat dia merenung, Saya tidak perlu buru– buru dengan Raditya dan kita bisa bertemu secara diam–diam. Selain itu saya bisa bersikap sebagai diri saya

sendiri di depannya.

Di sebuah ruang tamu berdekorasi mewah dan anggun, seorang perempuan cantik sedang duduk di sofa sambil membolak–balik foto yang baru saja diterimanya. Senyum puas tersungging di bibirnya.

“Kamu sudah menyelidiki gadis ini?”

“Sudah. Dia Anita Maldino. Ayahnya seorang pegawai negeri dan ibunya seorang pengembang. Mereka

bersih.”

Perempuan cantik itu mengangguk–angguk puas. “Raditya sangat menyukai perempuan. Sekilas perempuan ini terlihat seperti seseorang yang berasal dari keluarga berpendidikan. Saya harap Raditya bisa membawanya ke rumah untuk bertemu dengan saya.”

Orang yang mengambil sejumlah gambar secara diam–diam itu bukanlah orang jahat, tetapi orang yang bekerja untuk Starla Hernadar, ibu Raditya. Dia hanya penasaran dengan gerakan anak laki– lakinya belakangan ini. Setelah menikah lagi, Henida sudah tidak merawat Raditya sehingga hubungan mereka merenggang. Sebagai tambahan pada pola asuh yang tegas dalam Keluarga Laksmana untuk anak laki–laki, maka sulit baginya untuk menyempatkan waktu mengunjungi ibunya.

Itu adalah masalah yang sangat mengganggu pikiran Starla. Lupakan tentang ketidakhadiran orang tua dalam masa perkembangan Raditya, dia hanya berharap untuk dapat turut ambil bagian dalam pernikahannya nanti, tetapi tidak akan berani terlalu ikut campur. Sekarang dia harus menyuruh seseorang untuk membuntuti anaknya hanya untuk melihat calon menantunya.

Saat itu, seorang pelayan datang membawa pesan. “Nyonya, Tuan Hernadar datang.”

Kekhawatiran tampak di kerutan alisnya saat mengangguk menjawab pelayannya. Tak lama kemudian, sosok tinggi tegap masuk ke dalam ruang tamu. Dia adalah Rendra Hernadar yang tampan mengenakan setelan jas hitam, pilar otoritas kontemporer.

Starla menatap adiknya dan ketenangan dalam tatapannya terasa jelas. Sambil menanggung risiko kehamilan, ibu mereka melahirkan seorang penerus dari Keluarga Hernadar. Starla tidak bisa menyembunyikan kegembiraan melihat pencapaian dan kejayaan yang diraihnya hingga hari ini.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report