Ruang Untukmu -
Bab 874
Bab 874
Ruang Untukmu
Bab 874
Anita tidak yakin mengapa, tetapi sorot matanya semakin berkabut saat berbicara. Terkejut, dia kemudian menatap ke bawah menghindari tatapan tajam Raditya.
Raditya tak bisa berkata–kata, bingung dengan semua pertanyaan yang dilontarkan olehnya. Dia tidak tahu pasti harus mulai dari mana.
Anita menunggu responnya, tetapi ketika respon itu tak kunjung ada, senyum getir tersemat di bibirnya saat bertanya menantang, “Ini bukan pertanyaan sulit. Kamu tinggal menjawab iya atau tidak.”
“Saya tidak ingin menjawab,” katanya datar, lalu melepaskan pelukannya dan berjalan mendahului.
Pada saat itulah Anita yakin kalau dirinya hanyalah sebuah kewajiban belaka dan Raditya akan menunjukkan perlakuan yang sama pada perempuan lain. Dia sama sekali tidak istimewa di
matanya.
Dengan begitu, Anita tidak perlu menyiksa dan menipu diri dengan beranggapan bahwa dirinya berbeda, bahwa dirinya berarti sesuatu baginya.
Untungnya, jalur pendakian semakin mudah saat mendekati kaki gunung. Ketika mengambil langkah terakhir untuk turun dari pendakian, Anita merasa kakinya akan lemas. Dia langsung duduk di atas batu besar dan berpermukaan datar, kemudian memanggil laki–laki yang jauh berjalan di depannya, “Hei, kamu berjalan terus saja! Saya mau beristirahat sejenak di sini sambil menghirup udara segar.”
Raditya meliriknya sejenak lalu pergi tanpa berkata apa–apa.
Gerbang masuk sudah tidak jauh dari sana. Tidak ada gunanya Raditya berlama–lama di sini untuk mengawasinya. Itulah yang dikatakannya pada dirinya sendiri saat melihat sosok itu dari belakang. Namun, entah mengapa, air mata menggenang di kedua matanya. Dia mendengus untuk menghilangkan sensasi menusuk di hidungnya. Sial, ada apa dengan diri ini? Tenang, Anita. Kamu sendiri yang memintanya untuk terus saja berjalan, dan sekarang dia sudah menjauh, kamu menangisinya seperti bocah yang ditinggal di taman bermain?! Berhentilah! Kamu hanyalah tumpukan pekerjaan baginya. Hanya orang yang harus dilindungi olehnya. Kamu bukan kekasihnya. Ingat itu.
Dia menepuk–nepuk sendiri kepalanya seakan menginginkan akal sehatnya kembali. Dia berharap tidak menjadi begitu sentimental karena tidak ada yang baik keluar dari sikap ini. Dulu, dia telah tertipu oleh kebaikan Darma sehingga tidak melihat kekurangannya. Sekarang. Raditya bersikap baik kepadanya karena sudah menjadi pekerjaan dan tanggung–jawabnya untuk menjaganya, tetapi Anita sudah terlalu terbawa perasaan, terlalu jauh sampai dia mulai jatuh cinta kepadanya.
Dia benci karena merasa sangat ingin dicintai.
Sambil memejamkan mata, Anita mengambil napas dalam–dalam dan menjernihkan pikirannya. Ketika membuka matanya kembali, sudah tidak ada genangan air mata ataupun emosi yang
berkecamuk.
Setelah kembali ke markas, dia langsung berbaring di atas ranjang dan tertidur. Dia terbangun
tidak terlalu awal juga tidak terlalu telat, dan pendakian yang menyiksa itu telah membuatnya kelelahan.
Namun, tanpa diketahuinya Raditya mendapat kabar buruk ketika dia tidur.
Di ruang rapat, Raditya menutup telepon dan mencengkeram gagang ponselnya erat–erat, lalu berbalik menatap anak buahnya. “Ibu Anita baru saja mengalami kecelakan. Dia luka parah dan sudah dibawa ke rumah sakit untuk dirawat.”
Keempat laki–laki yang tengah bekerja di depan komputer saling beradu pandang dan khawatir. Kecelakaan itu tidak sepenuhnya tidak terduga; kelompok penjahat yang kemarin melewati perbatasan internasional adalah orang–orang yang bengis, dan membuat kecelakaan dengan mencelakai ibu Anita ini tidak diragukan lagi adalah bagian rencana mereka untuk menarik Anita keluar dari persembunyian.
“Haruskah kita memberitahu Nona Maldino mengenai kabar ini?” tanya Wilmar.
“Dia pasti sangat sedih, dan bersikeras ingin pulang untuk bertemu ibunya,” ucap Jodi dengan nada simpatik.
“Tetapi dia berhak tahu,” ucap Sandro.
“Kasihan Nona Maldino. Dia pasti sangat sedih!” ucap Teddy berulang kali.
Raditya mengernyit. Dia tidak punya alasan menyembunyikan kabar ini dari Anita. Itu berarti dia terikat tugas harus memberitahu yang sebenarnya kepadanya.
Sementara itu, ketika telah merapikan kamar, Anita kemudian duduk di sofa dan membiarkan pikirannya melayang–layang. Sebenarnya tidak melamun, tetapi pikirannya hanya memutar adegan pendakian saat dia mengecup bibir Raditya. Meskipun sebentar, tetapi telah meninggalkan sensasi yang tidak akan hilang.
Semakin dia memikirkannya, semakin merona merah wajahnya dan semakin cepat jantungnya berdebar. Ini pertama kalinya dia mencium seorang laki–laki atas inisiatifnya sendiri, tetapi kenyataan bahwa laki– laki itu tidak terusik telah membuatnya merasa seperti pecundang yang menyedihkan.
Saat dia tenggelam dalam rasa malunya sendiri, terdengar suara ketukan pintu.
Dia bangkit dan membuka pintu kamarnya, dan disambut Raditya, yang tampak tampan dan begitu tenang. Tiba–tiba udara di sekeliling mereka terasa pengap, dia berkedip saat bertanya padanya dengan bingung, “Ada apa?
Ruang Untukmu
Bab 875
“Datanglah ke kamar saya,” kata Raditya dengan suara rendah, kemudian berlalu menuju kamarnya lebih dulu.
Anita membuka pintu dan segera keluar dari kamar dan mengikutinya. Menilai dari raut wajahnya tadi, ada sesuatu yang ingin disampaikan olehnya.
Saat Anita memasuki kamarnya, Raditya menutup pintu dan menatapnya dengan muram. Dia tidak langsung bicara, dan Anita merasa harus mencairkan suasana tegang di antara mereka. “Silakan,” ujarnya, heran akan apa yang masih ditunggu oleh Raditya.
“Saya mendapat telepon sepuluh menit yang lalu. Kabar tentang keluargamu,” ucap Raditya.
Tiba–tiba, hatinya mengerut, tangannya mencengkeram lengan Raditya sebelum mendesak, “Ada apa dengan keluarga saya? Apakah mereka baik–baik saja?”
“Ibumu mengalami kecelakaan sejam lalu, sekarang berada di Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit,” jelasnya singkat.
“Apa?” pikiran Anita mendadak kosong. Jiwanya terguncang, bibirnya bergetar bersamaan dengan wajahnya yang memucat. Dia bahkan tidak tahu akan menangis sampai Raditya menarik dan memeluknya.
Tiba–tiba, air mata mengalir di pipinya dan dia dengan cepat mendorong Raditya menjauh, lalu membuka pintu dan keluar dari kamar itu.
Raditya mengikutinya, mendapati dia kembali ke kamarnya dan membiarkan pintunya terbuka sedikit. Anita mengobrak–abrik kamarnya untuk mencari tasnya, kemudian buru–buru memasukkan ponselnya ke dalam, dan bersiap untuk pergi.
Raditya berdiri di pintu, mengernyit dan bertanya, “Kamu mau pergi?”
Anita melingkarkan tasnya ke pundaknya. Terasa ketegasan di wajahnya saat menatap Raditya dengan mata memerah, “Saya harus pulang. Saya mau bertemu ibu saya. Saya bahkan tidak tahu apakah ibu akan selamat atau tidak.” Dia menolak untuk tinggal di tempat aman dan nyaman di sini padahal keluarganya dalam bahaya. Dia lebih baik menawarkan dirinya kepada kelompok penjahat itu daripada melihat keluarganya mati karenanya.
“Kamu tidak diizinkan meninggalkan markas,” ucap Raditnya dengan penuh kuasa sambil merentangkan tangannya untuk menghalangi celah di pintu, tubuhnya yang tinggi menjulang seperti dinding yang menahan Anita tetap berada di dalam.
“Minggir, Raditya,” perintah Anita.
“Anita, tenanglah dan kita tunggu kabar dari ibumu dulu, oke?” dia menyarankan dengan nada menenangkan berharap Anita bisa melihat alasan di balik sikapnya.
Namun, alasan tidak mempan untuknya kali ini. Yang dia inginkan hanyalah pulang dan bertemu ibunya. “Saya bilang,” dia menggigit bibirnya. “Minggirlah.” Kali ini, tampak tersirat kebencian di matanya, dan rahangnya mengencang.
“Sekarang ibumu sudah dirawat di rumah sakit, dan saya yakin keluargamu tidak ingin kamu. berakhir seperti ibumu,” Raditya mencoba mengemukakan pendapatnya, terdengar lebih memaksa daripada sebelumnya. Dia tahu nasib apa yang akan menunggunya apabila dia membiarkan Anita keluar dari markas dan penjahat itu menangkapnya. Ini bukan sesuatu yang siap dipertaruhkan olehnya.
Anita memejamkan mata dan membiarkan air matanya jatuh. Saat ini dia adalah perempuan kalap, yang hanya ingin melihat ibunya yang sedang terluka parah. Sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang anak, dan tidak bisa melihat siapapun di keluarganya tersakiti karena dirinya, walaupun tahu dia akan mati ketika kembali.
Bila dia tidak keluar dari persembunyiannya, para penjahat akan mulai menargetkan ayahnya, kakeknya, dan saudaranya yang lain. Mereka tidak akan berhenti hanya dengan mencelakai ibunya.
“Raditya, saya akan membencimu selama–lamanya apabila kamu tidak membiarkan saya pergi sekarang juga!” ancam Anita sambil berusaha mendorong dan membuka jalan untuknya, tetapi dia seperti gunung yang bergeming meskipun sudah didorong sekuat tenaga. “Minggir!” Dia memelototinya, kebencian di matanya sangat jelas terlihat. Dia benar–benar membencinya. Dia membenci ketidaksimpatiannya. Dia juga membenci pekerjaannya.
“Kamu tahu saya tidak akan membiarkanmu pergi. Saya sudah berjanji pada orang tuamu untuk melindungimu. Ini tugas saya,” jawab Raditya dengan suara parau.
“Saya tidak perlu perlindungan darimu! Ini hidup saya, dan saya berhak memutuskan apapun yang ingin saya lakukan! Biarkan saya pergi! Saya berjanji tidak akan menyalahkanmu apabila saya mati di luar sana,” Anita memohon mati–matian. Terlihat kesedihan di matanya, tetapi dia tidak menyerah.
“Saya tidak akan membiarkanmu mati,” ucap Raditya dengan tegas, pundaknya tegak saat dia berdiri terpaku di tempat.
Penolakan darinya terasa lebih buruk daripada kematian. Diapun luruh, menangis meraung- raung dan terkulai di lantai. Dia meletakkan kepalanya di atas tangan dan menangis tersedu–sedu, mengeluarkan rasa sakit, kesedihan dan juga ketidak–berdayaan dirinya.
Raditya menatapnya, hatinya pilu melihatnya gemetar dengan kekuatan untuk mengeluarkan sedu– sedan berikutnya. Dia tidak tahu seberapa parah luka yang dialami ibunya. Yang dia tahu dari sejumlah
foto yang dikirimkan kepada Raditya adalah bahwa sopir lain dalam tabrakan itu meninggal di tempat dan bahwa ibu Anita tidak sadarkan diri saat dibawa ke rumah sakit.
If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report