Ruang Untukmu
Bab 872

Bab 872

Ruang Untukmu

Bab 872

Anita menyeka ujung mulutnya saat Raditya tanpa kata menerima botol daur ulang itu dan meneguk airnya.

Dia terdiam dan melongo melihatnya tak percaya saat pikiran melintas dalam benaknya, Apakah itu artinya kita sudah berciuman secara tidak langsung? Rona merah jambu merayapi pipinya, dan dia pun terheran–heran bagaimana Raditya bisa meminum air dengan santai dari botol yang diminumnya beberapa detik lalu.

Tidak menyadari jalan pikirannya, Raditya kemudian mengangkat tas punggungnya dan menunjuk ke puncak tertinggi di kejauhan. “Itu tujuan kita, ayo cepat bergerak!”

Matanya terbelalak melihat puncak gunung itu, yang tampak berwarna biru keabu–abuan di bawah lapisan kabut tipis yang menyelimuti. “Maaf. Apakah kamu menyarankan kita untuk mendaki sampai ke atas sana?”

“Iya, kamu pintar,” ucap Raditya ketus. Dia mengangkat alisnya dan bertanya, “Kamu tidak takut, kan?”

Merasa terjebak, Anita berseru, “Tentu saja tidak! Saya akan mendaki gunung itu tanpa ada masalah!”

Dia menyeringai. “Kalau begitu, ayo kita melangkah?”

Anita menyaksikan Raditya berbalik dan mengingat bayangan punggungnya saat mendaki ke atas. Meskipun Anita merasa kakinya sudah gontai dan kaku dan pakaiannya basah karena keringat, Raditya sama sekali tidak terlihat kehabisan napas. Bila tidak tahu yang terjadi, orang pasti mengira dia sedang berjalan di tanah datar selama ini.

“Raditya, tunggu!” teriak Anita sambil melempar karangan bunga liar dan berlari ke arahnya.

Anita menyimpulkan bahwa pada titik ini mendaki benar–benar sangat menyiksa. Namun dia enggan untuk menyerah; kebanggaan diri dan tekadnya tidak mengizinkannya bahkan ketika dia sudah tidak sanggup dan akan tumbang.

Tak lama kemudian, mereka sampai di lereng yang sudut kemiringannya sekitar enam puluh derajat. Melihatnya saja sudah membuatnya lemas.

Seakan bisa meraba keengganannya, Raditya menoleh sambil tersenyum geli pada Anita, menikmati ekspresi kekalahannya.

“Pak Laksmana, tolong tarik saya,” ucap Anita, sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

Raditya menatap tangan itu dan segera menggenggamnya. Entah mengapa, perilakunya ini telah menghangatkan Anita. Setidaknya dia tidak meninggalkan saya tumbang sendiri di sini, pikirnya sambil tersenyum senang. “Sebenarnya, kamu tidak perlu meminta maaf pada saya semalam,” dia berkata dengan ragu, rasa lelahnya memaksanya untuk mengevaluasi ulang hati nuraninya. “Seharusnya saya yang meminta maaf.”

Raditya menatapnya terkejut, dan melihat Anita tersenyum manis padanya. Wajahnya memerah, dan matanya berbinar dengan sedikit nakal. Dia terlihat sangat cerah dan cantik pada saat itu

bahkan ladang bunga liar di sekitarnya tidak sebanding dengan senyumnya.

Tepat ketika Raditya tenggelam dalam tatapannya, dengan genit Anita menarik lengannya agar mendekat padanya. Laki–laki malang itu sudah dalam keadaan termangu, dan tarikan tiba–tiba itu membuatnya bergeser lebih mendekat.

Mereka akhirnya berdiri berdekatan sehingga cuping hidung Anita hampir menekan dada Raditya. Dia hanya ingin menggoda laki–laki itu untuk bersenang–senang; kedekatan ini sama sekali tidak dia

rencanakan.

Napasnya terengah–engah, dan dia menyipitkan matanya yang cantik sesaat lamanya sebelum mendongak melihat lekukan sempurna bibir laki–laki itu. Tiba–tiba, dia mendapat ide gila, Bagaimana kalau saya menciumnya?

Pikiran dan tubuh sudah selaras, Anita kemudian berjinjit, dan sebelum Raditya bereaksi, dia sudah mendaratkan kecupan kilat di bibirnya.

Terperangah mendapatkan kecupan yang tidak terduga, Raditya menatap gadis itu dengan sorot mata tidak percaya, tetapi dia sudah menjauh darinya dan berlari seperti anak kucing yang ketahuan mencakari perabot rumah.

Di sisi lain, wajah Anita juga merah padam. Dia tidak percaya sudah mengecupnya. Dari semua hal yang dia bayangkan mengenai jalannya pendakian ini, adegan tadi bukan satu di antaranya!

Bagi laki–laki yang baru saja mendapatkan kecupan di bibirnya, Raditya berdiri mematung dan tidak mencoba mengejarnya. Sentuhan lembut bibirnya tadi benar–benar membuatnya tertegun, dan mengalami kesulitan untuk mengembalikan akal sehatnya.

Setelah berlari sesaat lamanya, Anita memelankan langkahnya dan berhenti terengah–engah sambil menoleh ke arah Raditya. Ketika menyadari bahwa Raditya tidak mengejarnya, dia pun meringis dan hanya menunggu dia datang untuk mengomelinya.

Raditya menegakkan tas punggungya dan mengencangkan genggamannya kemudian berjalan menyusul Anita. Darah mengalir ke wajah Anita ketika mengamati sosok yang mendekat ke arahnya. Untuk menyembunyikan rasa malunya, dia menatap ke bawah dan memetik rerumputan, lalu memain– mainkannya agar terlihat sibuk sambil sesekali melirik pada laki–laki

itu.

Apabila dia terlihat marah, maka Anita akan langsung meminta maaf.

Namun, yang mengejutkannya, Raditya tetap terlihat tenang seperti biasanya saat berhenti di sebelahnya. Melihat Anita sedang memainkan rerumputan dengan ibu jarinya, dia pun berkata, “Jangan bermain–main dengan rumput, setidaknya, jangan yang ini.”

“Hah? Kenapa tidak-” Dia belum sempat mendengar jawabannya sebelum meringis kesakitan. Ujung rumput yang keras dan tajam telah mengiris jarinya saat perhatiannya teralihkan, membuatnya berdarah.

Dia kemudian membuang rumput itu dan mengernyit melihat darah dari jarinya yang teriris. Tanpa bicara, Raditya membuka resleting tas ranselnya dan mengeluarkan plester. Kemudian dia membersihkan lukanya dengan tisu sebelum menempelkan plester di atasnya.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report