Ruang Untukmu
Bab 858

Bab 858 

Ruang Untukmu

Bab 858

Raditya tidak sadar bahwa tatapannya terpaku lebih lama pada wajah cantiknya.

“Oke,” dia merespon singkat.

“Sekarang saya mau tidur. Selamat malam.” Anita melambaikan tangan lalu pergi membawa pakaiannya. Dia tidak sadar telah menjatuhkan sehelai pakaian saat keluar dari kamar mandi.

Ketika Raditya meletakkan buku dan bersiap mandi sebelum tidur, matanya tertuju pada suatu benda berwarna merah jambu di lantai. Tanpa sadar dia mengulurkan tangan untuk memungutnya.

Tiba–tiba, matanya bergetar.

Rupanya celana dalam perempuan.

Langsung dia lempar ke keranjang cucian. Jantungnya berdebar sedikit kencang daripada biasanya dan bicara dalam hati, Dasar perempuan ceroboh!

Di sisi lain, Anita sudah kembali ke kamarnya dan langsung berbaring di ranjang. Dari posisinya, dia bisa menatap ke luar jendela melihat bulan purnama tergantung di langit. Cantiknya, pikirnya sambil berdecak kagum.

Pemandangan ini belum pernah dilihatnya, baik saat di rumah ataupun di luar negeri, tetapi di sini, dia bisa menikmati seluruh keindahan dengan tenang.

Anita tidur sangat nyenyak malam itu, tetapi tersentak bangun beberapa jam setelahnya saat mendengar suara peluit yang melengking dari luar. Dia seketika melompat dari ranjang. Saat itu matahari baru saja menyingsing, tetapi pekarangan di luar jendela tampak sudah ramai oleh aktivitas.

Dia tahu tempat ini beroperasi seperti markas militer. Saat membuka pintu dan melihat ke gerbang masuk, kabut tebal menghalangi penglihatan orang. Namun Anita tahu banyak orang sudah berkumpul di pekarangan.

Tak lama kemudian, dia mendengar suara orang berlari, dan dengan cepat menghilang, samar–samar menjauh. Dia mengedipkan mata dan merasa senang dengan suasana di sekitarnya. Pegunungan terasa begitu hidup bahkan di subuh hari, sementara kumpulan burung di udara ramai dengan kicauannya, membuat dirinya menyatu dengan alam.

Sebuah bayangan kemudian berjalan melewatinya sebelum berbalik. Orang itu bertanya, “Nona Maldino, mau ikut berlari juga?”

Rupanya Teddy. Dia bangun terlambat sehingga tertinggal dengan pasukannya, maka memutuskan untuk lari

sendiri.

Anita sudah terjaga sepenuhnya sekarang, dan ajakan Teddy membuatnya tertarik. Memikirkan kegiatan berlari yang dilakukan saat di luar negeri, dia merasa tentunya akan mampu juga untuk berlari pagi di sini, maka segera mengangguk. “Baiklah. Saya akan ikut.”

Teddy merasa sangat senang. Lari akan jauh lebih menyenangkan apabila ada perempuan cantik ikut berlari

menemani.

Mereka lari di tepi jalan di bawah pepohonan. Jalur itu merupakan jalur tanah yang berkelok–kelok menuju pegunungan dan bukan jalan biasa dari aspal atau beton, sehingga menjadi pengalaman yang berbeda.

Anita cukup bersemangat saat berlari. Menghirup dalam–dalam udara pegunungan yang segar membuatnya merasa paru–parunya benar–benar dibersihkan.

Dia tidak tahu sudah berapa jauh berlari, tetapi cukup yakin, sudah mencapai titik di mana dia sudah tidak kuat lagi. Sambil tersengal–sengal, dia bertanya, “Teddy, berapa jauh lagi kamu akan berlari?”

“Kita belum mencapai sepertiga perjalanan!” jawab Teddy.`

“Benarkah?” Anita tercengang. Dia menatap ke kabut yang terhampar di depannya, tetapi jarak pandangnya tak lebih dari empat meter ke depan. Sisanya semua hanya kabut putih pekat.

“Nona Maldino, jika tidak sanggup lagi, kita kembali saja! Saya akan tuntun jalannya.” Teddy takut dia sudah tidak sanggup apabila mereka lanjut berlari.

Maka Anita dan Teddy pun mulai berlari pulang. Teddy sempat memetik beberapa buah liar untuk dicoba olehnya. Rasanya manis dan asam dan membangkitkan selera.

Mereka tertawa dan bercanda selama di perjalanan pulang. Saat hampir sampai di gerbang masuk, Anita tergelincir dan tersandung ke punggung Teddy. Setelah mencengkeram pinggangnya agar tubuh tetap dapat

berdiri, Anita kemudian tertawa riang.

Teddy menggenggam tangan Anita dan membantunya keluar dari jalan becek dan licin, tetapi saat itulah dia merasa ada orang yang mengawasinya. Setelah melirik ke orang itu, dia langsung melepas tangan Anita.

Kira–kira sembilan meter di depan mereka, Raditya berdiri dalam diam dengan mata tertuju pada mereka.

Wajahnya tidak berekspresi, tetapi Teddy merasa merinding.

“Raditya, Nona Maldino mengikuti saya keluar untuk lari pagi tetapi tidak sanggup berlari jauh maka saya menemaninya pulang,” jelas Teddy.

Anita menatap Teddy, yang tampak sedikit gelisah. Mungkinkah karena dia sudah menahan Teddy padahal seharusnya dia melakukan latihan pagi ini maka membuat Raditya marah?

“Bukan salah Teddy. Saya yang ingin ikut berlari bersamanya, dan saya juga yang sudah memaksanya untuk kembali pulang,” ucapnya untuk membela Teddy.

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you find any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report